Panwaslih dan Lingkar Kekuasaan


Selasa, 2 Februari 2016 14:01
Di sisi lain liputan media menyodorkan fakta dalam proses rekrutmen penyelenggara pemilu atau pemilihan manifestasi artikulasi kuasa besar itu menggelitik nalar politik-demokratis. Terdapat parlemen (dipersonifikasikan oleh Komisi A) merekrut sendiri tanpa membentuk Pansel di luar mereka dan ada pula parlemen yang membentuk Pansel dengan membuka pendaftaran calon anggota Pansel laksana pendaftaran pencari kerja. Model pembentukan Pansel seperti ini tidak dikenal di wilayah lain di Indonesia, oleh karena Pansel diisi tokoh-tokoh yang mewakili berbagai unsur bukan pencari kerja. Padahal Aceh pernah memberi contoh positif model Pansel rekrutmen penyelenggara Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/wakil Walikota di bawah UU No.18 Tahun 2001 tentang Otsus Bagi Provinsi DI Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Waktu itu lahirlah Pansel yang mewakili tokoh dari kampus Unsyiah, IAIN (UIN) Ar-Raniry dan tokoh dari masyarakat yang memang kapabel, kredibel dan akuntabel dalam domain kepemiluan.
Dalam belitan proses rekrutmen Panwaslih, bukan saja model pembentukan Pansel yang tidak lazim, Pansel mendaftarkan diri pada parlemen, lalu diseleksi dan ditetapkan oleh parlemen. Pansel terpilih merekrut calon anggota penyelenggara pemilu atau pemilihan (Panwaslih), hasil rekrutan Pansel diserahkan kepada parlemen. Untuk menentukan calon Panwaslih terpilih parlemen melakukan uji kelayakan dan kepatutan secara tertutup tidak bisa diakses oleh publik. Fit and proper test yang tertutup ini tidak saja melanggar asas transparansi tetapi juga mereduksi nilai demokrasi. Dalam proses ini parlemen bisa saja tersandung AAUPB (Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik) dengan batu uji UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Kehilangan otoritas
Kalau dipahami bahwa kuasa tunggal cabang kekuasaan legislatif membentuk lembaga penyelenggara pemilu atau pemilihan (Panwaslih) tanpa diimbangi dengan kekuasaan lainnya, maka kekuasaan tunggal cenderung sangat potensial akan menuai praktik penyalahgunaan jabatan atau kekuasaan. Maka ruh point 1.4.1 MoU Helsinki pengakuan akan trias politica dalam penyelenggaraan pemerintahan rakyat Aceh tercederai karena tiap cabang-cabang kekuasaan tidak dapat saling mengimbangi satu sama lain dan kehilangan otoritas untuk saling mengawasi. Konon kuasa besar dalam proses rekrutment penyelenggara pemilu atau pemilihan (Panwaslih) diakselerasikan secara artificial, maka pesan MoU Helsinki terciptanya kondisi pemerintahan rakyat Aceh melalui suatu proses yang demokratis lagi-lagi menjadi ruang goal displacement dari tujuan luhur MoU itu sendiri. Bila modus kekuasaan berciri berjalan menuju corpus alienum, pada gilirannya akan mengkonstruksi kekuasaan dalam bentuk dinasty neo oligarki.
Beralihnya lokus kekuasaan menyelenggarakan pemilu atau pemilihan dari cabang kekuasaan eksekutif ke lembaga independen agar pemilu atau pemilihan dapat terlaksana tanpa dipengaruhi atau diintervensi kekuasaan eksekutif. Tatkala besarnya kekuasaan legislatif dalam pembentukan penyelenggara pemilu atau pemilihan (Panwaslih), telah membuat lembaga independen (penyelenggara pemilu/Panwaslih) sulit keluar dari cengkraman kepentingan lembaga legislatif. Akhirnya pelaksana pemilu atau pemilihan yang telah keluar dari kekuasaan eksekutif untuk menjaga independensinya lalu terperangkap dalam kekuasaan legislatif dan lembaga legislatif ini sulit memperoleh legitimasi publik bahwa mereka telah membangun kondisi mendukung independensi lembaga independen dimaksud. Oleh karenanya belakangan ini banyak masukan agar parlemen tidak lagi mengurus soal rekrutmen jabatan politik, tetapi lebih fokus pada tiga fungsi utamanya di bidang legislasi, anggaran dan fungsi perngawasan.
Pemilu atau pemilihan adalah akar tak terpisahkan dari demokrasi. Pemilu yang berintegritas merupakan cita-cita negara demokrasi modern dan untuk mencapai cita-cita itu tentu dibutuhkan instrument demokrasi, yaitu lembaga penyelenggara pemilu atau pemilihan (Panwaslih) yang independen dan bebas pengaruh kekuasaan manapun. Peran media pers bebas (the fourth pillar of democracy) semakin memperkuat kebebasan diruang publik, sehingga setiap cabang kekuasaan dapat diketahui langgam wataknya dan sejauhmana memengaruhi atau mengintervensi lembaga independen penyelenggara pemilu atau pemilihan. Kekuasaan pers sebagai cabang kekuasaan keempat Quadru-politica memegang peranan penting dalam mengendalikan dari potensi dan kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan oleh para pejabat pemegang kekuasaan negara di setiap cabang kekuasaan.
* Zainal Abidin, S.H., M.Si., M.H., Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum, dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Email: zainalabd3@gmail.com

http://aceh.tribunnews.com/2016/02/02/panwaslih-dan-lingkar-kekuasaan?page=2
Share this article :
 
Website : Resmi Panwaslu Bireuen
Copyright © 2016. Panwaslih Kabupaten Bireuen - By Abiya
Sekretariat Jln. Medan-Banda Aceh Bireuen Provinsi Aceh
Kode Pos 24211