PENGUATAN PERAN PANWASLIH DALAM PEMILIHAN KADA (Studi Kasus: Pemilihan kada Aceh)
ABSTRAK
Kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pelaksanaan tugas dan wewenang Panwaslih dalam pelaksanaan Pemilihan kada di Provinsi Aceh. Metode yang digunakan deskriptif kualitatif. Hasil kajian menunjukkan bahwa peran Panwaslih dalam pelaksanaan Pemilihan kepala daerah belum optimal karena belum diberi peran yang luas, masih merupakan lembaga ad hoc, dan pola rekrutmen melalui parlemen. Dalam konsteks ini bertujuan, agar memperluas kewenangan Panwaslih, pembentukannya bukan sebagai lembaga ad hoc; dan pola rekrutmennya melalui UU Nomor 15 Tahun 2011 yang direkrut melalui tim independen..
Kata Kunci: Panwaslih, peran, penguatan. dan perekrutan
A. PENDAHULUAN
Sejarah Pilkada di Indonesia juga merupakan sebuah bukti dari bentuk aktualisasi dan agregasi kepentingan masyarakat yang dilembagakan melalui berbagai proses dan instrument demokrasi tersebut. Keinginan masyarakat yang turut berafiliasi dengan kekuatan membentuk sebuah wadah kepentingan bersama untuk memenangkan berbagai pemilihan perwakilan politik. Didorong pula kepada sebuah perubahan warna dan dinamika akibat dari konstalasi politik di Indonesia yang memasuki trasnsisi demokrasi yang diawali dengan Reformasi 1998, telah membawa banyak perubahan politik di Indonesia. Perubahan yang mengisyaratkan, terbukanya ruang bagi masyarakat untuk melakukan dan mendapat perlindungan dari aktivitas politiknya. Hal yang secara nyata dapat kita lihat dari sebuah euforia kemenangan politik di Indonesia, yang menghasilkan sebuah sistem kepatutan politik yang baru. Sebuah gambaran fenomena politik Indonesia, yang diikuti perubahan bentuk basis politik di masyarakat (Koirudin, 2004).
Kebebasan dalam menentukan warna politik dan hilangnya unsur pemaksaan terhadap hak politik masyarakat telah melahirkan instrumen penunjang keberlangsungan demokrasi perwakilan di Indonesia melalui partisipasi politik masyarakat. Partisipasi politik masyarakat merupakan perangkat penting karena teori demokrasi yang menyebutkan bahwa perlunya partisipasi politik masyarakat pada dasarnya disebabkan bahwa masyarakat tersebutlah yang paling mengetahui apa yang mereka kehendaki (Budiarjo, 1982). Azas dasar dalam sebuah negara yang demokrasi, yakni kedaulatan rakyat menentukan jalannya pemerintahan. Perwujudan azas kedaulatan rakyat ini dalam kehidupan pemerintahan terbukti dengan dilibatkannya rakyat secara intensif alam memutuskan berbagai kebijakan pemerintah. Ukuran kedaulatan rakyat dilihat dari semakin besarnya porsi peran yang dimainkan oleh rakyat, serta semakin selarasnya kepentingan rakyat dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.
Partisipasi politik sendiri adalah merupakan kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih pimpinan Negara dan masyarakat, dan
secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy), yakni kegiatan yang mencakup tindakan seperti pemberian suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai politik dan kelompok
kepentingan (Budiarjo, 1982).
Sebagai sebuah implementasi terhadap partisipasi politik masyarakat dalam bentuknya, maka lahirlah sistem Pemilihan kada. Dalam pengertiannya, pemilihan umum merupakan suatu kegiatan yang sering diidentikkan sebagai suatu ajang pesta demokrasi, yang merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih Presiden/Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Gubernur/Wakil Gubernur, Walikota/Wakil Walikota ataupun memilih Bupati/Wakil Bupati berdasarkan peraturan yang berlaku. Melalui pemilihan umum, maka hak asasi rakyat dapat tersalurkan, demikian juga halnya dengan hak untuk sama didepan hukum dan pemerintahan (Mahfud, 1999).
B. PEMBAHASAN
Pemilihan kepala daerah (Pilkada ) dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah administratif setempat yang memenuhi syarat. Pemilihan kepala daerah dilakukan satu paket bersama dengan wakil kepala daerah. Kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dimaksud mencakup pemilihan Gubernur dan wakil gubernur untuk provinsi, Bupati dan wakil bupati untuk kabupaten, Wali kota dan wakil wali kota untuk kota madya.
Hal tersebut sesuai dengan amanat UU No.1 Tahun 2015 tentang Pilkada mengamanatkan terhadap pejabat kepala daerah yang habis pada 2015 dan masa jabatan Januari hingga Juli 2016 ditarik pemilihan pejabat baru pada Desember 2015. Meski DPR khususnya Komisi II mengusulkan agar dilakukan proses Pilkada pada 2016, namun kesepakatan dilakukan pada 9 Desember 2015.
Membuktikan keseriusan Pemerintah dengan mengimplementasikan UU tersebut untuk daerah yang akan menggelar pilkada serentak, melibatkan sebanyak 269 Pilkada. Meskipun dalam pelaksanaannya, Pilkada serentak digelar melalui tiga gelombang yakni gelombang pertama pada Desember 2015, gelombang kedua akan digelar pada Februari 2017 diperuntukan bagi mereka pejabat kepala daerah yang habis masanya pada Juli hingga Desember 2017. Sedangkan gelombang tiga bakal digelar pada Juni 2018 bagi pejabat yang habis masa tugasnya pada 2018 dan 2019.
Anggaran untuk pelaksanaan tersebut dianggarkan melalui APBD, tetapi juga mendapat bantuan dari APBN. Terlepas dari berbagai kekurangan “Itu pun belum terbayangkan dari sisi anggaran, pengamanan, kualitas. Tapi Pilkada serentak merupakan keputusan yang harus diterima dengan tiga gelombang tetap dilangsungkan.
Menurut peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, berpandangan dalam melaksanakan Pilkada serentak mesti dipertimbangkan dampak terhadap rakyat. Tak saja efisiensi anggaran, tapi juga kesiapan masyarakat dan partai politik. Terlebih, masih adanya perseteruan internal partai dengan dualisme kepengurusan yang tak kunjung rampung.
Meskipun nampaknya Pilkada serentak seakan dipaksakan akan menggelar Pilkada serentak di 269 daerah bukan perkara mudah. Pemilihan kada adalah suatu hal yang amat penting bahwa kehendak rakyat tidak dikecewakan dengan cara memastikan bahwa Pemilihan kada diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pemilihan kada secara langsung merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan Kepala Daerah yang berkualitas dalam negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Selain itu Pemilihan kada juga merupakan proses politik yang dinamis dan hanya bisa berjalan lancar dan tertib apabila dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini pemerintah eksekutif dan legislatif telah menyepakati pilkada serentak untuk daerah-daerah yang akan habis masa jabatannya pada tahun 2015 dan semuanya diselenggarakan pada 9 Desember 2015. Pilkada serentak sesungguhnya sudah pernah diselenggarakan di Indonesia, namun dalam cakupan provinsi.Tahun 2006, pilkada serentak diadakan di seluruh Aceh yang meliputi pemilihan gubernur dan kepala daerah di 19 kabupaten/kota. Empat tahun berikutnya, pilkada diselenggarakan di 17 kabupaten/kota di Sumatera Barat secara bersamaan. Tetapi memang, dalam konteks skala, Pilkada 9 Desember 2015 merupakan yang pertama kali diadakan dengan cakupan nasional. Pilkada kali ini berlangsung dengan tahapan pemilihan dan hari pencoblosan yang bersamaan untuk 269 pemilihan kepala daerah, yang terdiri dari 9 tingkat provinsi--pemilihan gubernur; 30 kota--pemilihan wali kota; dan 224 kabupaten--pemilihan bupati.
Dengan pertimbangan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pemilihan kada dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka secara normatif merupakan bagian dari kewenangan daerah untuk menyelenggarakannya. Kondisi ini telah menimbulkan tarik menarik antara pemerintah dengan pemerintah daerah, terutama dalam masalah pendanaan.
Pilkada langsung di Indonesia yang dimulai pertama kali Juni 2005 sering dikatakan sebagai “lompatan demokrasi”. Istilah ini bisa diartikan secara positif maupun negatif. Dari sisi positif, pilkada langsung sebagai sarana demokrasi memberikan kesempatan kepada rakyat sebagai infrastruktur politik untuk memilih kepala daerahnya secara langsung melalui mekanisme pemungutan suara. Sarana ini akan membuat keseimbangan dengan suprastruktur politik, karena melalui pemilihan langsung rakyat dapat menentukan jalannya pemerintahan dengan memilih pemimpin yang dikehendaki secara bebas dan rahasia. Adapun dari sisi negatif, Pilkada langsung mencerminkan penafsiran sepihak atas manfaat dan proses pilkada. Proses ini sering dianggap sebagai ”pesta demokrasi rakyat” di mana Penguatan Peran Panwaslih dalam Pemilihan kepala daerah (Studi Kasus: Pemilihan kada Provinsi Aceh) - Dedeh Haryati | 135 rakyat berhak untuk membuat apa saja, termasuk tindakan-tindakan anarki, baik atas inisiatif sendiri maupun yang dimobilisasi oleh kandidat dan pendukungnya atau karena dorongan partai politik sebagai pihak yang mengajukan kandidat tersebut. Bagi masyarakat umum, pilkada langsung sering juga ditafsirkan sebagai kesempatan bagi-bagi uang. Mereka tahu bahwa tiap-tiap kandidat menyediakan anggaran yang cukup besar untuk memenangkan kompetisi (Amirudin dan Bisri, 2006), maka tidaklah mengejutkan apabila kemudian muncul rasa tidak percaya rakyat akan Pemilihan kada yang merupakan proses politik.
Menganalisa konsteks di atas perlunya ada, lembaga-lembaga yang independen dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah sesuai dengan semangat yang diatur dalam perundang-undangan yang berlaku, termasuk pengawasan Pemilihan kada sangat penting untuk melakukan penguatan peran mereka dengan baik. Hal ini berarti, lembaga-lembaga tersebut harus bekerja secara efisien, efektif, tidak memihak, adil, jujur, terbuka dan dapat dipercaya. Secara umum, persepsi rakyat mengenai proses Pemilihan kada yang berlangsung secara bersih, jujur, tertib, adil, dapat dipercaya, dan terbuka akan tercermin dari persepsi rakyat mengenai lembaga-lembaga serta pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan Pemilihan kada. Pengawasan menjadi salah satu komponen terpenting dalam penyelenggaraan, dan dapat menentukan berhasil atau tidaknya sebuah Pemilihan kada. Pengawasan Pemilihan kepala daerah adalah kegiatan mengamati, mengkaji, memeriksa dan menilai proses penyelenggaraan Pemilihan kepala daerah sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.Pemilihan kepala daerah secara langsung dibebani harapan besar bisa menjadi pintu masuk bagi perubahan lebih besar, menyangkut sistem politik yang lebih demokratis. Namun, tetap saja harapan perubahan itu dinilai masih belum sejalan dengan kecenderungan dalam sistem kepartaian Indonesia yang masih sentralistik, justru ketika demokrasi dan juga desentralisasi membutuhkan lembaga politik yang dapat menjamin transparansi dan akuntabilitas.
Keberadaan Panwaslih sangatlah penting dalam mengawasi pelaksanaan penyelenggaraan Pemilihan kepala daerah agar sesuai dengan asas Pemilihan kepala daerah yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Panwaslih memiliki fungsi dan peran strategis dalam upaya untuk menciptakan penyelenggaraan Pemilihan kada yang demokratis. Oleh karena itu, melalui kajian ini, penulis ingin mengidentifikasi peran Panwaslih dalam penyelenggaraan Pemilihan kepala daerah di Provinsi Aceh guna melihat langkah-langkah apa saja yang ditempuh oleh Panwaslih dalam mengatasi hambatan dan sekaligus meningkatkan peran Panwaslih dalam Pemilihan kada, dengan perekrutan sesuai dengan UUPA Nomor 11 Tahun 2006, Qanun Nomor 7 Tahun 2007.