A.
UMUM
Sejarah Pilkada serentak sesungguhnya sudah pernah diselenggarakan
di Indonesia, namun dalam cakupan provinsi. Tahun 2006, pilkada serentak
diadakan di seluruh Aceh yang meliputi pemilihan gubernur dan kepala daerah di
19 kabupaten/kota. Empat tahun berikutnya, pilkada diselenggarakan di 17
kabupaten/kota di Sumatera Barat secara bersamaan.Tetapi memang, dalam konteks
skala, Pilkada 9 Desember 2015 merupakan yang pertama kali diadakan dengan
cakupan nasional. Pilkada kali ini berlangsung dengan tahapan pemilihan dan
hari pencoblosan yang bersamaan untuk 269 pemilihan kepala daerah, yang terdiri
dari 9 tingkat provinsi--pemilihan gubernur; 30 kota--pemilihan wali kota; dan
224 kabupaten--pemilihan bupati. Seluruh 269 pemilihan kepala daerah itu
berlangsung di 32 dari 34 provinsi Republik Indonesia. Hanya dua provinsi yang
tak ikut menyelenggarakan Pilkada 2015. Keduanya kebetulan daerah khusus, yakni
DKI Jakarta, dan Aceh -alias Nangroe Aceh Darussalam. DKI adalah provinsi
dengan lima kota administrasi dan satu kabupaten administrasi -Kepulauan
Seribu. Namun para wali kota dan bupati merupakan pembantu gubernur, yang tidak
dipilih melalui pemilihan langsung, tapi ditetapkan gubernur. Sedangkan Aceh
baru akan melangsungkan Pilkada pada 15 Februari 2017 menurut tahapan dalam
PKPU No. 3 Tahun 2016. Sebelum Pilkada 2015, pilkada dua putaran dimungkinkan.
Ketentuannya meenyebutkan suatu pasangan calon dinyatakan memenangkan Pilkada
jika mendapatkan suara terbanyak dengan perolehan sedikitnya 30% dari suara
yang sah. Jika tak ada yang mendapatkan suara 30%, maka diselenggarakan
pemungutan suara putaran kedua dengan diikuti dua pasangan calon yang paling
banyak mendapatkan suara.Dalam ketentuan yang mulai berlaku di Pilkada 2015,
peraih suara terbanyak langsung dinyatakan sebagai pemenang pemilihan kepala
daerah, berapapun persentase perolehan suaranya.
Hal yang menarik di Aceh tentang Panwaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota
ada dualisme hukum penyelenggaraan Pemilu yakni UU No. 15 Tahun 2011 yang
berlaku secara nasional yang perekrutan Panwaslu Aceh dan Kabupaten Kota
direkrut oleh Bawaslu RI dan UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh bahwa
Panwaslu Aceh dan Kabupaten/kota direkrut melalui DPRA/DPRK. Hal ini selalu
menjadi perhatian setiap pelaksanaan Pemilu atau Pemilukada di Aceh, selalu diwarnai konflik kemewenangan
antara Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan DPR Aceh terkait pembentukan Panitia
Pengawas pemilu (Panwaslu ) Aceh. Bawaslu berprinsip kalau mereka punya otoritas dalam
pembentukan Panwaslu Aceh.
Sebaliknya, DPR Aceh juga merasa punya hak yang sama sebagai pihak yang
berwenang menentukan figur-figur yang dianggap layak duduk di Panwaslu di
daerah ini.
Persoalan regulasi sudah terjadi sejak Pemilu 2009. Namun dengan mudah diselesaikan melalui dialog
antarpihak. Ketika itu diputuskan kalau Bawaslu yang telah merekrut 3 anggota
Panwaslu Aceh, tetap berjalan sebagaimana aturan yang berlaku
secara nasional. Sementara DPR Aceh – yang berpijak kepada Undang-Undang No 11
tahun 2996 tentang Pemerintah Aceh -- merekrut dua anggota Panwaslu tambahan
untuk menggenapkan jumlah personil Panwaslu Aceh menjadi lima orang.
Sistem perekrutan Bawaslu ketika itu didanai sepenuhnya oleh APBN,
sedangkan perekrutan yang dilakukan DPRA didanai oleh APBA. Berbeda dengan
provinsi lain yang hanya memiliki tiga anggota Panwaslu, jumlah anggota
Panwaslu Aceh terdiri dari lima orang.
Suksesnya kompromi antara DPRA dan Bawaslu pada 2009 itu
dikarenakan kedua pihak sama-sama sikap arif untuk menyelesaikan dualisme hukum
yang ada. Tujuan mereka, murni untuk mencari kata sepakat demi lancarnya proses
pengawasan Pemilu di Aceh. DPRA yang waktu itu dikuasai sepenuhnya oleh
partai-partai nasional, memang sama sekali tidak bermaksud menunjukkan
arogansi kekuasaan, apalagi untuk menguasai sistem penyelenggaraan Pemilu Aceh.
Namun situasi berbeda terjadi pada Pemilukada 2011. Ketika itu
Bawaslu sebenarnya punya niat untuk menyerahkan sepenuhnya proses perekrutan
Panwaslu Aceh kepada DPRA sebagaimana amanat Pasal 60 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006. Tapi DPRA mengulur-ulur waktu. Mereka lebih
banyak menghabiskan energi memprotes keputusan Mahkamah Konstitusi soal pencabutan
Pasal 256 UUPA tentang larangan calon perseorangan tampil sebagai kandidat
kepala daerah.
Merasa permintaan mereka tak digubris oleh DPRA, akhirnya Bawaslu
bergerak cepat menyeleksi sendiri anggota Panwaslu di tingkat Provinsi dan
kabupaten/kota. Belakangan DPRA – dimotori Partai Aceh – memprotes
langkah tersebut. Mereka menuding Panwaslu bentukan Bawaslu sebagai lembaga
ilegal.
Tapi Bawaslu tetap bekerja maksimal. Alhasil, Partai
Aceh tunduk jua dengan kebijakan itu. Mereka yang semula menolak kehadirat
Panwaslu Aceh, akhirnya mengakui keberadaan lembaga itu. Malah
Partai Aceh turut menyampaikan sejumlah pelanggaran Pemilu temuan mereka kepada
Panwaslu.
Pada Pemilu 2014 ini, kejadian tersebut kembali terulang. Sejak
awal Bawaslu sudah menyurati DPR Aceh agar lembaga itu segera
membentuk Panwaslu, sebab tahapan Pemilu 2014 sudah dimulai pertengahan 2012. Anehnya,
lagi-lagi DPRA lalai. Ketika Provinsi lain sudah melengkapi komposisi
Panwaslunya pada akhir 2012, Aceh sama sekali belum bergerak. Bawaslu
akhirnya bergerak cepat mengingat tahapan Pemilu sudah berjalan.
Awal 2013, Bawaslu melakukan seleksi secara terbuka terhadap para
kandidat anggota Panwaslu Aceh. Tiga anggota Panwaslu Aceh hasil seleksi itu
kemudian dilantik pada 15 April 2013 di Bogor. Setelah itu menyusul
Panwaslu Aceh menyeleksi dan melantik sejumlah anggota Panwaslu di
kabupaten/kota.
Melihat situasi ini, DPRA menyampaikan protes dan
menuding tindakan Bawaslu sebagai langkah ilegal. Bersamaan dengan
itu, DPRA mengumumkan ke publik kalau mereka akan melakukan seleksi
untuk menjaring lima nama anggota Panwaslu Aceh versi mereka.
Gerakan menolak Panwaslu versi Bawaslu tidak hanya
berlangsung di tingkat provinsi, tapi juga di sejumlah kabupaten/kota. Terlihat
jelas ada hubungan linier antara DPRK yang dominasi Partai Aceh dengan semangat
penolakan ini. Di wilayah-wilayah di mana Partai Aceh mendominasi kursi DPRK,
gerakan penolakan terhadap intervensi Bawaslu sangat kental. Sebaliknya di
wilayah yang DPRKnya minim perolehan suara Partai Aceh, kebijakan Bawaslu
justru diterima dengan tangan terbuka.
Lihat saja bagaimana Panwaslu Kota Banda Aceh, Kota Subulussalam,
kabupaten Singkil, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Bener
Meriah begitu lancar menjalankan kerja pengawasannya. Eksistensi
mereka mendapat pengakuan dari Pemerintah Daerah dan juga KIP
setempat. Sebaliknya, Panwaslu di tingkat Provinsi, Panwaslu Pidie, Bireuen,
Aceh Utara, Aceh Timur, sampai sekarang tidak mendapat pengakuan resmi dari
pemerintah daerah dan penyelenggara Pemilu di daerah itu.
Untuk menyelesaikan masalah ini, langkah kompromi sebenarnya sudah
dilakukan. Bahkan Kemendagri turut memediasi konflik ini. Bawaslu melunak
dengan opsi sebagaimana pernah disepakati pada Pemilu 2009, yaitu meminta DPRA
melengkapi dua lagi anggota Panwaslu agar genap menjadi lima. Tapi
DPRA menolak keras. Lembaga ini ngotot agar seleksi yang telah dilakukan
Bawaslu dibatalkan semua karena tidak sesuai dengan UUPA. DPRA
ingin proses seleksai sepenuhnya otoritas mereka.
Sikap keras DPRA ini yang membuat proses medianya gagal total. Buntutnya,
baik Bawaslu maupun DPRA terus saling menyerang. Kalaupun DPRA tetap
melakukan seleksi sendiri untuk menjaring lima anggota Panwaslu Aceh, sudah
pasti tidak akan mulus. Bawaslu memegang kunci penting di sini,
sebab pasal 60 ayat (3) UUPA menegaskan bahwa DPRA hanya bisa mengusulkan lima
anggota Panwaslu untuk ditetapkan oleh Bawaslu sebelum dilantik
Gubernur Aceh. Karena itu, Bawaslu tidak akan pernah merestui hasil seleksi
yang dilakukan DPRA tersebut.
Sebaliknya, Panwaslu Aceh yang dibentuk Bawaslu juga tidak leluasa
bekerja, karena tidak mendapat pengakuan dari pemerintah Aceh dan
lembaga penyelenggaran Pemilu di daerah ini. Apalagi semua tahu, KIP Aceh
sependapat dengan DPRA dan Pemerintah Aceh dalam menyikapi kasus ini. Makanya
komunikasi antara KIP Aceh dan Panwaslu Aceh tidak berjalan sama sekali.
Kondisi ini tentu saja membuat posisi Bawaslu dan Panwaslu Aceh
serba salah. Untuk mencari kata putus, Bawaslu akhirnya membawa kasus
ini dalam sidang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) di
Mahkamah Konstitusi. Diharapkan putusan MK menjadi jalan final untuk
menyelesaikan kemelut ini melalui jalur hukum.
Tak disangka, dalam putusannya pada 16 Januari lalu, MK
menolak gugatan tersebut. Alasannya, sengketa antara Bawaslu dan DPRA sama
tidak terkait dengan kewenangan yang diberikan UUD 1945. Ketua
majelis sidang konstitusi Hamdan Zoelva menyarankan agar Bawaslu dan DPRA
bermusyawarah lagi. Apabila tidak mencapai kesepakatan, dapat
melakukan upaya hukum pengujian Undang-Undang.
Putusan MK ini sudah pasti mengejutkan banyak pihak. MK sepertinya
tidak mau campur tangan untuk urusan Pemilu Aceh. Sepertinya mereka trauma
dengan Pemilukada 2011, saat lembaga itu mencabut Pasal 256 UUPA yang
akhirnya berbuntut terjadinya serentetan pembunuhan di daerah ini.
Untuk menenangkan situasi Aceh ketika itu, sampai-sampai ketua MK Mahfud MD
harus membuat scenario dengan Mendagri guna menghadirkan putusan sela agar
Partai Aceh tidak memboikot Pemilukada 2012.
Penolakan MK memutuskan sengketa Panwaslu Aceh, secara tidak
langsung membuat konflik lembaga penyelenggara Pemilu kembali memanas
di daerah ini. Kalaupun para pihak duduk lagi bermusyawarah, sepertinya tidak
akan menemui jalan keluar, apalagi DPRA masih ngotot meminta Bawaslu
membatalkan semua Panwaslu yang telah dibentuk di daerah ini. Bawaslu pasti
menolak permintaan ini.
Namun kesiapan dan kematangan pemilu-pemilu yang lalu, Bawaslu RI
memberikan otoritas untuk Aceh melakukan perekrutan Panwaslih Aceh dan
Kabupaten/Kota sesuai dengan UUPA Nomor 11 Tahun 2006 dan Qanun Nomor 7 Tahun
2007. Sehingga telah melahirkan srikandi Pengawas Pemilihan Kepala Daerah, yang
akan dilantik pada hari selasa 24 Mei 2016 dan di-SK-kan oleh Bawaslu RI.
B. ORGANISASI
Adapun
tugas dan tanggung jawab Panwaslu Kabupaten Bireuen berdasarkan Undang Undang Pemerintah Aceh Nomor 11 Tahun 2006 sebagai berikut:
(1) Tugas dan wewenang Panitia Pengawas Pemilihan:
a. melakukan pengawasan pelaksanaan pemilihan Gubernur/Wakil
Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota; dan
b. melaksanakan
tugas dan wewenang lain yang diatur dalam peraturan perundang- undangan.
(2) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Tugas dan wewenang Panitia Pengawas Pemilihan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dilakukan melalui:
a. pengawasan semua tahap penyelenggaraan pemilihan
Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota;
b. penyelesaian sengketa yang timbul dalam pemilihan
Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota;
c. penerusan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan
kepada instansi yang berwenang; dan d. pengaturan hubungan koordinasi antara
panitia pengawas pada semua tingkatan.
Panwaslu
Kabupaten Bireuen berkewajiban :
a. Bersikap
tidak diskriminatif dalam menjalankan tugas dan wewenangnya;
b. Melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas Panwaslu pada tingkatan di
bawahnya;
c. Menerima dan
menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran
terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu;
d. Menyampaikan
laporan hasil pengawasan kepada Bawaslu Provinsi Aceh sesuai dengan tahapan
Pemilu secara periodik dan/atau berdasarkan kebutuhan;
e. Menyampaikan
temuan dan laporan kepada Bawaslu Provinsi Aceh berkaitan dengan adanya dugaan
pelanggaran yang dilakukan oleh KIP Kabupaten Bireuen yang mengakibatkan
terganggunya penyelenggaraan tahapan Pemilu 2014 di tingkat Kabupaten Bireuen ;
dan
f. Melaksanakan
kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Struktur Organisasi dibentuk Berdasarkan
peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 tahun 2012 tentang Organisasi,
Tugas, Fungsi, Wewenang, Dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal Badan Pengawas
Pemilihan Umum, Sekretariat Badan Pengawas Pemilihan Umum Provinsi, Sekretariat
Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kabupaten/Kota,Dan Sekretariat Panitia Pengawas
Pemilihan Umum Kecamatan.
Untuk Pengawas Pemilihan jajaran di bawahnya sesuai
dengan amanat Undang Undang Nomor 15 tahun 2011
Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, dan Peraturan Bawaslu RI Nomor 10 Tahun
2013 Tentang Pembentukan, Pemberhentian Dan Penggantian Antar Waktu Bawaslu
Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilihan Umum
Lapangan Dan Pengawas Pemilihan Umum Luar Negeri. Panwaslu Kabupaten Bireuen akan
merekrut Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan dengan jumlah anggota yang dilantik
51 (lima puluh satu) orang atau 3 (tiga) orang tiap kecamatan dari 17 (tujuh
belas) kecamatan dalam Kabupaten Bireuen